Sesuai dengan namanya, destinasi mainstream, selalu menjadi jujukan pertama turis untuk datang.
Konsekuensinya, tempat wisata ini selalu ramai dan susah dihindari.
Terkadang, tujuan utama datang untuk healing menjadi tidak tercapai lantaran destinasi itu terlalu ramai.
Tapi, bukan berarti kita tidak bisa menghindari keramaian di destinasi mainstream.
Bisa, kok, sepanjang kita mengerti tips dan triknya.
Saat weekdays destinasi mainstream biasanya lebih sepi daripada akhir pekan tiba.
Karena itu, pilihan berkunjung saat weekdays atau hari biasa kemungkinan besar terhindar dari keramaian di destinasi mainstream, kecuali bertepatan libur panjang atau libur anak sekolahan.
Selain bisa menghindari keramaian, kalau datang ke destinasi mainstream saat hari biasa juga ramah kantong.
Akomodasi terjangkau.
Hal ini wajar, lantaran permintaan turun sementara operasional hotel dan tempat wisata harus terus berjalan.
Cara lain buat mengindari keramaian di destinasi mainstream adalah menginap agak jauh dari pusat keramaian.
Jika berwisata di Yogyakarta, hindari menginap di sekitar Malioboro.
Di Bali, misalnya, menginaplah agak jauh dari Kuta.
Zaman canggih seperti sekarang, tentu mudah mencari penginapan yang jauh dari pusat keramaian.
Tak sampai lima menit browsing di marketplace pariwisata atau aplikasi hotel pasti sudah ketemu.
Datang ke destinasi mainstream dilanjutkan bermain di tempat yang sama mainstreamnya, Anda akan mengalami mainstream-ception.
Niat healing jadi buyar kala melihat berjubel manusia di tempat itu, bukan tak mungkin bikin mual dan pusing.
Sebaiknya, hindari atraksi mainstream.
Kalau perlu jangan pasang target bakal ke tempat A, B, atau C tapi dibuat spontan.
Lebih menantang dan menyenangkan.
Ikuti aja ke mana angin berembus.
Jika melalui prosedur ini, tanpa sengaja justru tersesat di tempat-tempat menyenangkan.
Supaya terhindar dari keramaian di destinasi mainstream, ada baiknya tidak mencontek referensi yang ditulis pejalan di Internet.
Mungkin ada puluhan, ratusan, sampai ribuan orang lain yang membaca informasi yang sama.
Konsekuensinya, atraksi wisata yang direkomendasikan itu bakal ramai lantaran yang menggunakan referensi itu juga terlalu banyak.
Daripada mengikuti referensi di internet, kita bisa bertanya ke orang-orang setempat yang ditemui.
Mereka pasti lebih tahu daerahnya sendiri daripada orang-orang yang cuma mengulas destinasi di internet.
Supaya tak terjebak macet di destinasi mainstream, coba manfaatkan angkutan alternatif semisal ojol—apalagi kalau sistem transportasi publik di destinasi mainstream itu masih semrawut.
Jika menginginkan dampak yang lebih lokal, kita bisa membayar orang setempat yang menawarkan jasa antar-jemput atau tur keliling kota.
Lebih eksklusif kan? Artikel ini sudah tayang di TelusuRI